Rene Descartes



Rene Descartes (1596-1650), seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, bahwa dia sering disebut pendiri atau bapak filsaat modern, dan saya kira memang demikian. Ada sebuah kesegaran baru yang ditebarkan oleh Rene Descartes dalam bidang filsafat yang tidak kita temukan dari filoshof terdahulu terutama semenjak plato. Descartes merupakan tanda kepercayaan diri baru akibat dari kemajuan sains. Rene Descartes lahir di La Haye Touraine-Prancis pada tanggal 31 Maret 1956 dari sebuah keluarga borjuis. Ayah Descartes adalah ketua Parlemen Inggris dan memiliki tanah yang cukup luas ( borjuis ). Ketika ayah Descartes meninggal dan menerima warisan ayahnya, ia menjual tanah warisan itu, dan menginvestasikan uangnya dengan pendapatan enam atau tujuh ribu franc pertahun. Dia sekolah di Universitas Jesuit di La Fleche dari tahun 1604-1612, yang tampaknya telah memberikan dasar-dasar matematika modern. Pada tahun 1612, dia pergi ke paris, namun kehidupan social disana dia anggap membosankan, dan kemudian dia mengasingkan diri ke daerah terpencil di Francis untuk menekuni Geometri, nama daerah terpencil itu Faubourg. Teman-temannya menemukan dia di tempat perasingan yang ia tinggali, maka untuk lebih menyembunyikan diri, ia memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi tentara Belanda (1617). Ketika Belanda dalam keadaan damai, dia tampak menikmati meditasinya tanpa gangguan selama dua tahun. Tetapi, meletusnya Perang Tiga Puluh Tahun mendorongnya untuk mendaftarkan diri sebagai tentara Bavaria (1619). Di Bavaria inilah selama musim dingin 1619-1690, dia mendapatkan pengalaman yang dituangkannya ke dalam buku Discours de la Methode[2]. 
Ketika perang selesai, dia memutuskan untuk tetap tinggal di Belanda (1629-1649). Descartes adalah seorang yang penakut, dan beragama katolik, namun dia mengikuti jejak Galileo yang mengembangkan sains. Konon pada masa itu, jika hasil pemikiran filoshofis tidak sejalan dengan gereja (red; kebenaran agama) disebut bid’ah, dan akan dijatuhi hukuman mati seperti yang menimpa Galileo pada tahun 1616[3].
Dalam kematangan pemikirannya, Descartes juga memiliki musuh-musuh yang juga Katolik taat seperti dia. Mereka kebanyakan datang dari para Yesuit, pengasuh pada waktu mudanya. Ajarannya dianggap menyimpang dari Teologi Katolik dan dimasukkan dalam ajaran sesat. Buku-bukunya yang termasyhur dan mempengaruhi gerak zaman modern adalah Discours de la Methode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641),[4] 
Traite des Passions (1649), dan terbit sesudah meninggal dunia Regula ad Directionem Ingenii.[5]
Pada tahun 1650 ia meninggal dunia di Swedia. Descartes tidak pernah menikah, tetapi ia dikaruniai seorang anak kandung perempuan, namun anaknya meninggal pada usia lima tahun. Ini merupakan pukulan kesedihan yang paling mendalam bagi Descartes. Dia adalah filosof yang selalu berpakaian rapih, dengan cirri khasnya yang selalu membawa sebilah pedang, entahlah seperti apa makna filosofisnya membawa pedang, yang jelas Descartes adalah filosof yang selalu berpenampilan keren. Dia juga sempat menjalin kontak dengan para pemikir lainnya, seperti Thomas More dan Hobbes. Konon juga, menurut kabar yang beredar di sejarah filsafat barat, Ratu Elizabeth dari Bohemia pernah menjadi muridnya[6].
Descartes adalah seorang filosof, matematikawan dan ilmuwan. Geometri koordinat adalah salah satu kontribusi besarnya dalam bidang matematika. Namun ini bukanlah kontribusi satu-satunya yang disumbangkan pada matematika. Bukunya yang paling banyak memuat teori ilmiah adalah Principia philophiae yang terbit pada tahun 1644, Essais Philosophiques (1637), buku tersebut membahas ilmu optic dan geometi, dan salah satu bukunya diberi judul De la formation du foetus[7].
Dia menyambut baik atas penemuan Harvey tentng sirkulasi darah. Seperti yang di ungkapkan Bertrand Russel[8];
Descartes memandang tubuh manusia dan binatang sebagai mesin; binatang dianggapnya sebagai mesin otomatis yang seluruhnya dikendalikan oleh hukum-hukum fisika, dan dia mengabaikan perasaan atau kesadaran. Manusia itu berbeda-beda, mereka memiliki jiwa yang bersemayam di sumsum tulang belakang. Di sana jiwa berhubungan dengan “roh-roh penting”, dan melalui hubungan ini, terjadi interaksi antara jiwa dan tubuh, jumlah total gerak di alam semesta ini tetap, dan makanya jiwa tidak dapat mempengaruhinya, tetapi jiwa dapat mengubah arah gerak roh-roh penting dan, secara tidak langsung, bergerak bagian-bagian tubuh lainnya. Dalam ilmu mekanika, Descartes menerima hukum gerak pertama, yang menyebutkan bahwa “tubuh akan bergerak dengan kecepatan tetap dalam sebuah garis lurus. Tetapi tidak ada aksi dalam jarak, sebagaimana kemudian dalam teori gravitasi Newton. Tidak ada sesuatu semacam ruang hampa, dan tidak ada atom; namun semua interaksi merupakan akibat. Jika mempunyai pengetahuan yang cukup, kita bisa mereduksi ilmu kimia dan biologi menjadi ilmu mekanika.; proses tumbuhnyasebuah benih menjadi seekor binatang atau tumbuhan sepenuhnya bersifat mekanis. Tiga jiwanya menurut Aristoteles itu tidak ada, yang ada hanyalah salah satunya, yakni jiwa rasional yang dimiliki manusia[9].
Pemikiran Rene Descartes Cagito Ergo Sum ( Aku Berpikir maka Aku Ada) Dalam perjalanan filosofisnya ia berusaha membangun sebuah dasar pijkan bagi pemikiran filsafatnya. Dia membuat keputusan untuk membuat dirinya meragukan segala sesuatu yang dapat diragukannya, termasuk kebenaran dari agama itu sendiri, ini bertujuan agar kita mendapatkan kebenaran yang sehakiki mungkin, yakni kebenaran yang tak dapat diragukan lagi[10].
Dimulai dengan skeptisisme terhadap apa yang diterima oleh indera manusia. Konon katanya dalam buku yang saya baca, ia pernah berungkap “dapatkah saya meragukan, bahwa saya sedang duduk disini dekat api dengan baju panjan?, ya, karena kadang-kadang saya bermimpi bahwa saya berada di sini, padahal senyatanya saya sedang dalam keadaan telanjang di tempat tidur. Selanjutnya kadangkala orang gila selalu berhalusinasi, sehingga mungkin saja saya mengalami hal yang serupa ( red; dengan orang gila )”[11]. Akan tetapi tetap saja ada sesuatu hal yang Descartes sendiri tidak bisa meragukannya, yaitu “pikiran”. Ia berungkap “ketika saya ingin menganggap sesuatu itu salah, pastilah ada diri saya yang berpikir, dan ungkapan kebenaran; Aku Berpikir maka Aku Ada ( cagito ergo sum ), saya pikir saya dapat menerimanya tanpa keberatan, sebagai prinsif kebenaran filsafat yang saya cari”[12].
Saya menyimpulkan bahwa pencarian kebenaran yang dicari oleh Descartes, sebagai jalan pencarian kebenaran adalah dengan metode skeptis. Namun skeptis yang didasarkan Descartes adalah Skeptis sebagai sebuah metode pencarian kebenaran[13], bukan skeptis kaffah yang selalu membingungkan ( menurut saya ), karena jika demikian, maka bisa jadi tidak ada kebenaran apapun di dunia ini, Kalau saya boleh mengutif dari Nietzhea “yang ada hanyalah kesalahan yang tak terbantahkan”[14]. Adapun pemikirannya tentang relasi badan dan jiwa, seperti yang telah diungkapkan Russel di atas, bahwa antara badan dengan jiwa itu bersifat mekanik, ada keterkaitan dalam tubuh manusia, yangmana jiwa selalu bersemayam dalam sum-sum tulang belakang badan manusia. Descartes mengatakan bahwa aku terdiri dari dua substansi, yaitu jiwa dan badan (materi). Lalu dia membedakan manusia dari hewan pada rasio, yang tak lain dari jiwa manusia. Manusia menunjukan kebebasannya dikarenakan mempunyai jiwa, Bagi Descartes, kegiatan psikis yang tak sadar merupakan suatu kontradiksi, karena hidup psikis sama saja dengan kesadaran[15]. Sedangkan hewan menunjukan perilaku otomatisnya disebabkan tidak memiliki jiwa yang sama pada manusia. Descartes menyebutnya sebagai l’homme machine (mesin yang bergerak sendiri). Jiwa manusia yang mengendalikan badan manusia yang bersemayam di dalam sum-sum tulang belakang unkap Russel sedangkan hewan tidak. Pandangan antropologisnya bisa disebut dualisme, yakni pandangan yang mengatakan bahwa jiwa dan badan adalah dua realitas yang terpisah satu dengan yang lainnya. Untuk menjelaskan relasi jiwa dan badan dalam diri manusia, Descartes menyebutkan sebuah kelenjar kecil di otak yang mengalir ke sum-sum tulang belakang sebagai jembatan, namanya glandula pinealis. Adanya kelenjar ini, memungkinkan tubuh manusia berjingkrak-jingkrak, atau berjalan lunglai, sementara jiwanya gembira atau sedang bersedih.[16] Etika Dalam etika, Descartes menganut pandangan dualistis. Dia menekankan pentingnya mengendalikan hasrat-hasrat dalam badan kita, sehingga jiwa semakin menguasai tingkah laku kita. Dengan cara itu manusia menjadi mahluk yang memiliki kebebasan spiritual. Hasrat atau nafsu dimengerti sebagai keadaan pasif dari jiwa. Ada enam nafsu pokok, yakni: cinta, kebencian, kekaguman, gairah, kegembiraan dan kesedihan. Jika manusia mampu mengendalikan keenam nafsu ini, dia akan bebas dan independen. Akan tetapi Descartes beranggapan bahwa otonomi manusia tidak pernah mutlak, sebab kebebasannya dituntun berdasarkan penyelenggaraan ilahi[17]. Kesimpulan Filsafat Descartes mewariskan sebuah problem yang mendasar. Yakni Cagito Ergo Sum, artinya perdebatan tentang kepastian kebenaran, akan selalu menjadi perdebatan yang amat panjang. Apakah dengan jalan berpikir, yang benar-benar kita dapatkan itu adalah kebenaran yang kita pikirkan, atau pikiran itu sendiri?. Dan apakah jika pengetahuan yang diandaikan selalu menjadi kepastian ataukah akan kembali disebut dengan sebuah ilusi kebenaran?. Descartes telah membuka jalan untuk menangguhkan apa yang kita tangkap, terlepas dari kebenaran perspektif manapun. Pesan yang tersirat dari ungkpan Descartes adalah kita tidak harus serta merta menerima segala sesuatu ini secara apa adanya. Descartes mengandaikan bahwa pikiran atau kesadaran melukiskan kenyataan diluar kesadaran itu, dan dengan cara refleksi diri, kita menyadari kenyataan diluar diri kita. Dari antara dua sisi itu, yaitu: pikiran dan dengan kecenderungan itu, dia mengawali sebuah aliran filsafat yang disebut rasionalisme. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh hanya dari rasio atau kesadaran kita, dan bukan dari sesuatu yang berada di luar dirinya.

Daftar Pustaka
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat pustaka pelajar; Djogjakarta 2007 Budi Hardiman, Filsafat Modern. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007 ) Poedjawijatna. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat (Jakarta: PT Pembangunan, 1980) J Sudarminta. Epistemologi Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2002) K Bertens. Panorama Filsafat Modern ( Bandung; MIZN; Teraju)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/aripbudiman/rene-descartes_550e7e85813311862cbc636e

Komentar